Terungkap Proses Orang Pertamina Beli Pertalite Lalu Dijual Jadi Pertamax,Ini Cara Kerjanya

Diposting pada

– Kasus korupsi pengelolaan minyak dan produk PT Pertamina saat ini sedang membuat masyarakat heboh.

Direktur Penyelidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan kewajiban pemenuhan minyak mentah dari dalam negeri pada periode 2018-2023.

Pertamina harus mencari sumber minyak bumi dari kontraktor domestik terlebih dahulu, sebelum mempertimbangkan impor.

“Seperti yang ditetapkan secara tegas dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri,” kata Qohar.

Namun menurut Qohar, aturan itu diduga tidak diikuti oleh RS (Direktur Utama Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Utama Pengawetan dan Optimalisasi Bahan Baku PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (Wakil Direktur Pengawetan Manajemen Bahan Baku PT Kilang Pertamina Internasional).

Sebaliknya, mereka diduga berselingkuh untuk merusak produksi minyak bumi dalam negeri sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.

Qohar mengatakan produksi minyak mentah oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri juga ditolak ketika produksi kilang diturunkan.

Penolakan dilakukan dengan membuat berbagai alasan. Pertama, produksi minyak mentah KKKS dinilai tidak layak secara ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk dalam rentang harga perkiraan sendiri (HPS).

Alasan kedua, spesifikasi produk itu dianggap tidak sesuai dengan kualitas kilang. Padahal, minyak dalam negeri itu masih seharusnya memenuhi kualitas jika diolah kembali dan kadar merkuri atau sulfurnya dikurangi.

Qohar mengatakan bahwa produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan beberapa alasan, sehingga Pertamina akhirnya mengimpor minyak mentah.

“Harga beli impor tersebut jika dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” kata Qohar.

Kemudian Qohar menjelaskan adanya dugaan pemufakatan jahat (mens rea) dalam proses impor minyak mentah oleh terdakwa SDS, AP, RS, YF, bersama terdakwa pihak swasta MK, DW, dan GRJ.

“Sebelum tender dilaksanakan, dengan harga yang telah disepakati dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” katanya.

Ia menjelaskan rencana pemufakatan jahat itu dilakukan dengan mengatur proses pengadaan minyak mentah dan produk kilang. Dengan cara tersebut, kondisi pemenangan broker tampaknya sesuai dengan ketentuan.

Pengondisian itu dilakukan oleh tersangka RS, SDS, dan AP yang memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

Lalu, kedua tersangka DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP dengan tujuan untuk mendapatkan harga tinggi sebelum syarat-syaratnya terpenuhi.

Tersangka RS kemudian diduga melakukan penyelewengan dalam pembelian minyak. RS dikabarkan melakukan pembelian untuk jenis Roin 92 (Pertamax) padahal yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite).

“Tersangka melakukan pembelian untuk bensin 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli bensin 90 (Pertalite) atau yang lebih rendah, lalu melakukan blending di gudang penyimpanan untuk menjadi bensin 92, yang hal itu tidak diperbolehkan,” kata Qohar.

Kepala Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan bahwa juga ditemukan dugaan markup pada kontrak pengiriman oleh tersangka YF dalam melaksanakan impor minyak mentah dan produk kilang.

Ia menyatakan bahwa negara mengeluarkan biaya sebesar 13-15 persen melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut. Lebih lanjut, Qohar menyebut korupsi ini memberikan dampak luas pada harga BBM di Indonesia.

Karena sebagian besar kebutuhan minyak nasional dipenuhi dengan impor ilegal, harga dasar BBM menjadi lebih mahal. Ini berdampak pada penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM, yang menjadi acuan untuk subsidi dan kompensasi BBM dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya.

Seri tindakan ilegal tersebut telah menyebabkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun.

Kerugian total itu berasal dari beberapa komponen, yaitu: Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun; Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun; Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 bersamaan dengan Pasal 3 dan Pasal 18 UU Tipikor beserta Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Kerugian negara yang diduga karena korupsi ini sekitar Rp193,7 triliun.

Terpisah, PT Pertamina (Persero) mengaku menghormati Kejaksaan Agung menjalankan tugas serta wewenangnya dalam proses hukum yang tengah berlangsung pada kasus tindak pidana korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk kilang perusahaan periode 2018-2023.

“Pertamina telah siap untuk bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap memprioritaskan asas hukum “non-karena atau tidak bersalah”, ungkap Fadjar Djoko Santoso, Wakil Kepala Humas Pertamina dalam keterangan resmi, Selasa (25/2).

Fadjar menekankan Pertamina Grup beroperasi dengan mengikuti komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan yang berlaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *