Jika dikalkulasikan, kunjungan saya ke Kebun Raya Bogor telah cukup sering. Sejak dulu ketika masih dapat membawa mobil masuk dan berkeliling ke beberapa area, sampai saat ini hanya sepeda pribadi atau disewa serta kendaraan listrik sewaan saja yang diizinkan untuk melintasinya.
Pada pagi hari tersebut, bersama dengan keponakanku yang baru tiba dari Malaysia, kami menunggang sepeda dari Hotel Ibis Styles Pajajar menuju sebuah gerbang masuk di KBB.
Sewaan sepedanya bisa kita ambil tanpa biaya tambahan di hotel. Ternyata gerbang ketiga berada sangat dekat dari penginapan; hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit untuk sampai sana kalau menggunakan sepeda. Meski begitu, tetap ada yang mesti diseberangi yaitu jalan raya.
Saat tiba di gerbang utama, saya memesan dua tiket dengan total biaya 91ribu rupiah; itu mencakup 51ribu rupiah untuk tiket masuk serta tambahan 40ribu rupiah untuk menyewa dua sepeda. Pembayaran hanya bisa dilakukan melalui kode QR, sepertinya mereka tidak menerima alat pembayaran lain seperti tunai. Gerbang nomor 3 ini dekat sekali dengan Astrid Boulevard yang populer dan indah tersebut. Nama jalanan Ibu diberikan atas dasar kunjungan Ratu Astrid dari Belgia ke tempat ini pada tahun 1928.
Kemudian bagaimana kalau pergi ke Kebun Raya? Kami pastinya mengunjungi berbagai lokasi seperti taman herbal, taman air, ecosphere, taman Meksiko, monumen Lady Raffles, serta kolam teratai dan masih ada beberapa spot lainnya. Sambil bernostalgia menjadi pemandu wisata spontan untuk para pelancong dari Malaysia yang masih dalam usia remaja.
Tetapi ada satu lokasi yang selalu dikunjungi saat berada di KRB. Tempat itu tak lain adalah Makam Belanda. Saya kurang paham alasannya, tetapi sepertinya ada sesuatu yang menarik untuk kembali ke sini.
Hutan bambu lebat menyambut kedatangan kita. Sampai-sampai dedaunan menyebar luas sampai menyentuh wajah. Ketika melihat daun bambu itu, pikiran saya teringat akan hidangan kesukaan yakni bacang. Sepanjang perjalanan, ada beberapa titik di mana reruntuhan batang dan daun pohon membuat jalannya tertutup, sehingga kami pun harus mencari rute alternatif agar bisa tiba di tempat kuburan tersebut.
Tiap kali berkunjung kesini, rasanya seolah aku memasuki sebuah lorong waktu. Barisan nisannya kuno dengan tulisan nama orang-orang bergaya Eropa, tanggal kematiannya dari masa abad ke-18 hingga 19, serta ungkapan selamat tinggal dalam Bahasa Belanda yang berciri puisi dan kadang-kadang adalah petikan langsung Alkitab. Namun pada kunjungan kali ini ada sesuatu yang tidak biasa bagiku. Aku sempat terpaku menyaksikan beberapa pemakaman mengalami kerusakan serius. Beberapa retak, beberapa lainnya jatuh, bahkan juga ada yang ditimbun oleh reruntuhan akibat pohon tumbang.
Saat saya menyaksikan petugas pemakaman memotong rumput, saya segera menanyakan alasan pembongkaran makam tersebut.
Makam tersebut tidak dikupas, tetapi rusak akibat jatuhnya sebuah pohon besar saat hujan deras berlangsung. Petugas itu menjelaskan hal demikian sembari memperlihatkan sepotong batangan kayu dengan diameter cukup lebar di sudut area. Mamang pun ikut mengindikasi bagian dari pohon yang roboh. Sungguh wajar jika beberapa nisan tampak rusak.
ternyata peristiwa itu telah terjadi sekitar dua bulan setelah akhir Januari yang lalu.
Saya menuju ke arah pemakaman dengan kerusakan paling parah tetapi batu nisan serta inskripsi di atasnya masih dapat dibedakan dengan jelas.
“Hier Rust, Ernestine Geertruida Mijer, diep betreurde echtgenoote van J.H. H. Van Raders.”
Disini beristirahat Ernestine Geertruida Mijer, istri J.H.H. Van Raders yang sangat disayangi.
Nisan ini juga lengkap dengan tanggal lahir, tanggal kematian dan kutipan ayat dari Injil Matheus.
Di sekelilingnya juga tampak makam lain yang mungkin ikut terdampak, meski tidak separah ini. Walau Batang pohon yang menimpa sudah dipotong dan disingkirkan, tapi puing bata dan kerusakan pada beberapa nisan belum sempat diperbaiki. Masih banyak nisan yang berserakan begitu saja.
Pandangan saya tertumbuk pada satu makam megah dengan nisan marmer besar bertuliskan nama: Elisabeth Charlotte Vincent, istri dari Jan Jacob Rochussen. Buat yang suka sejarah kolonial, nama Rochussen pasti familiar—dia adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1845–1851.
Tertulis di nisannya (dalam bahasa Belanda):
Di sini dikuburkan Elisabeth Charlotte Vincent
Pasangan dari Jan Jacob Rochussen
Dia meninggal pada tanggal 14 Agustus 1851…
Elisabeth Charlotte Vincent, yang merupakan istri dari Jan Jacob Rochussen, dikubur di tempat ini. Dia meninggal dunia pada tanggal 14 Agustus 1851…
Lalu lanjut dengan kisah tragis: ia meninggal akibat komplikasi pasca persalinan. Anak perempuan yang dilahirkan juga wafat saat lahir, dan keduanya dimakamkan bersama. Sebuah kisah sedih dari masa lalu yang tertinggal abadi dalam marmer di tengah Kebun Raya yang rimbun ini.
Menariknya, di depan makamnya juga ada potongan nisan terpisah yang menyebut nama seorang perwira laut — tampaknya bagian dari kompleks makam keluarga atau memorial untuk kerabat. Tulisan di bagian bawahnya berbunyi:
Overl te Batavia den 11 Februarij 1851
Ini menyebut kematian di Batavia pada 11 Februari 1851. Apakah ini suami Elisabeth sebelumnya, atau anggota keluarga lain, belum jelas. Tapi keberadaan dua nisan berdekatan ini menambah lapisan misteri. Atau hanya potongan nisan kedua yang diletakan di dekat nisan marmer megah ini?
Yang membuat lokasi ini terasa bersemayam adalah perbedaannya: di satu sisi ada sejarah yang sunyi tertanam dalam nisan, sedangkan disisi lain ada pohon-pohon tropis yang selalu bertumbuhan — seringkali bahkan roboh, layaknya insiden baru-baru ini.
Di dekat sana, berserakan di permukaan tanah, aku menemukan sebuah nisan rusak kecil yang milik Margaretha Catharina Elizabeth Pahud, dia meninggal saat masih muda pada tahun 1860. Tulisan terakhir di atas nisan tersebut membaca:
Anda telah menghancumkan saya melalui kematian tetapi saya akan bertemu dengan Anda lagi.
(Kamu membawa aku melewati ajal, tetapi aku akan bertemu dengan kamu lagi)
Nama “Pahud” bisa jadi mengacu kepada famili para pegawai tingkat tinggi dari zaman kolonial Belanda. Mungkin saja ia adalah keturunan dari Charles Ferdinand Pahud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1856-1861. Namun demikian, terdapat suatu paradoks dalam hal ini: meskipun memiliki latar belakang mulia, kehidupannya berakhir dengan singkatnya, sebuah rahasia terselubung oleh bumi dan batu.
Di sampingnya pula, terbaring di tanah adalah satu nisan yang kelihatan sangat usia dengan lumut menempel pada permukaannya.
Secara singkat, ini adalah tanda kubur yang sangat berusia lama! Berdasarkan bentuk dan tulisannya, kelihatannya berasal dari masa penghujung abad ke-18.
Penulisan tersebut nyaris hilang karena pengaruh umur, namun saya mencoba membacanya dengan pelan:
“Di sini bersemayam Cornelis Potmans, administrator apotek (Medicinale Winkel) pada Dewan Tetap…”
Baris berikutnya sulit dibaca, tapi terlihat jelas bahwa ia lahir di Middelburg (kota di Belanda), dan wafat di Batavia. Di baris paling bawah tertulis tahun kematian: 1784, artinya ini adalah salah satu makam paling tua di kompleks ini.
Menariknya, Cornelis bukanlah seorang tentara atau pejabat berpangkat tinggi layaknya banyak warga makam Eropa di tempat ini. Dia merupakan apoteker—sebagai salah satu elemen dalam jaringan kesehatan VOC, organisasi yang pada masa tersebut bertugas merancang sistem perawatan bagi para penduduk Eropa serta staf perusahaan di Hindia Timur.
Berbeda dari kemilau marmer putih yang mencolok, batu Cornelis Potmans hampir tidak terlihat melawan latar tanah dan dedaunan. Namun, itulah yang menjadikan batu tersebut menonjol: bebatuan bersejarah ini menyimpan cerita zaman dahulu ketika apotek tak hanya menjadi tempat penjualan obat-obatan, tetapi juga institusi resmi yang dikelola oleh perusahaan koloni.
Kini kita memiliki tiga generasi kisah: yang pertama adalah Cornelis Potmans (1784) — Apoteker dari era VOC, dia meninggal di Batavia.
Kedua, Margaretha Pahud (1860) — Seorang wanita muda berasal dari kalangan elit kolonial, dan yang terakhir adalah Elisabeth Vincent (1851) — istri seorang gubernur jendral, meninggal dunia akibat komplikasi saat proses bersalin.
Tiga monumen pemakaman. Tiga periode waktu. Tiga cerita dalam sebuah lembaran sejarah — terselubung oleh kepadatan Kebun Raya Bogor dan sesekali muncul akibat robohnya pohon besar.
Meskipun petualangan mengunjungi kuburan masih berlanjut, tepat di samping batang pohon yang roboh itu, terdapat sebuah nisannya yang kelihatannya lebih mutakhir. Ini adalah pemakaman untuk Andre Josef Guillaume Henri Kostermans, yang dilahirkan di Purworejo pada tahun 1906 dan meninggal di Jakarta pada tahun 1994. Pemakamannya sangat tertata rapi dengan ubin warna merah-putih-biru. Apakah itu bendera Belanda atau mungkin lambang dari campur aduk antara budaya Indonesia dan Belanda? Sulit dipastikan. Namun, kontrasnya begitu mencolok dibandingkan dengan beberapa pemakaman tua lainnya yang sudah mulai ditinggalkan orang.
Ternyata orang tersebut seorang spesialis tumbuhan yang sempat menjabat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor dan bernama asli Achmad Jahja Goh Hartono Kostermans dalam versi bahasa Indonesia. Yang unik, meskipun namanya berubah, singkatan tetap tidak berbeda yakni A.J.G.H Kostermans.
Di nisan tertera Lahir Belanda di Purworejo, meninggal Indonesia di Jakarta.
Pada bagian bawah juga tertera tulisan Botanist philanthropist yang mengindikasikan bahwa orang tersebut adalah seorang spesialis tanaman serta seorang filantropis.
Saya akhirnya berhasil mengabadikan foto sebuah nisan tua di mana mayoritas tulisannya telah usang; ini adalah milik Johan Althofse Victor de Stuers, salah satu pegawai tinggi pemerintah Hindia Belandanya. Tertera kalimat “gewijd aan den echragenoot” — diberikan untuk sang suami kekasih setia. Ini merupakan pesan diam dari zaman dahulu yang saat ini nyaris tidak dapat dibaca lagi.
Bulan ini nisannya unik sebab menyerupai gelas atau mangkok dengan ukiran daun bunga yang dilengkapi dengan hiasan seperti tiara atau mahkota bertema piala di bagian atasnya. Akan tetapi, tampak agak kotor akibat lumut yang berserakan pada permukaannya.
Sudah hampir satu jam lamanya saya berada di pemakaman Belanda ini. Jika berniat untuk mengunjungi semua nisan lainnya, mungkin saja kita akan habiskan waktu sehingga petang atau bahkan malam hari. Ada masih beberapa area lagi yang perlu dikunjungi kembali.
Jika ada waktu luang dan berkunjung kembali ke Kebun Raya Bogar, tentu saja saya akan singgah di tempat ini lagi.