Ungkapan kekecewaan terhadap berbagai masalah di Indonesia dan keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri menjadi populer di media sosial, bersamaan dengan tagar #KaburAjaDulu.
BBC News Indonesia melakukan wawancara dengan tiga anak muda Indonesia yang berdomisili di Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Thailand.
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab utama viralnya hashtag ini.
Mulai dari masalah ekonomi yang belum kunjung membaik, kesulitan mencari pekerjaan yang layak, hingga ketidakpuasan terhadap sistem politik dan hukum yang dirasa tidak adil.
Sebelum topik ini menjadi tren, sudah ada beberapa orang yang mencari kehidupan baru di luar negeri.
BBC News Indonesia berbicara dengan tiga orang muda Indonesia yang memilih tinggal dan bekerja di Amerika Serikat, Thailand, dan Korea Selatan.
‘Aku tidak ingin mati sebagai orang Indonesia, aku ingin mati sebagai seorang seseorang yang pernah hidup’
Australia, Jerman, Finlandia, Swedia, dan Singapura.
Lima negara itu pernah menjadi pilihan Fajar Zakri, 33 tahun, untuk menetap.
Sejak tahun 2021 sampai 2024, Fajar yang lahir di Jakarta mulai melakukan penelitian dan perencanaan untuk meninggalkan Indonesia.
“Aku tidak melihat masa depan yang berarti di negara ini,” kata Fajar yang saat ini tinggal di Dothan, Alabama, Amerika Serikat, pada Selasa (11/02).
Saya tidak ingin mati sebagai orang Indonesia.
Fajar banyak bertanya kepada teman-temannya yang sudah pindah ke Australia dan Jerman.
Dia juga mencari informasi tentang pindah ke Singapura karena banyak orang Indonesia yang telah meninggalkan negara ini untuk pindah ke sana.
Finlandia dan Swedia terlintas di pikirannya karena dia merasa kualitas hidup di negara-negara Skandinavia itu lebih baik.
Beberapa bulan yang lalu, Fajar mendapatkan kesempatan untuk pindah ke Amerika Serikat.
Dia mengaku tidak berasal dari keluarga yang berada atau mampu secara ekonomi.
“Aku sebenarnya tidak merencanakan pindah ke Amerika Serikat. Ini sesuatu yang terjadi secara alami,” kata Bung Karno kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia
Selama empat tahun terakhir, Fajar bekerja sebagai penulis musik untuk salah satu majalah daring yang didirikan oleh warga kulit hitam di Amerika Serikat.
Tahun lalu, pimpinan redaksi majalah itu meminta Fajar untuk pindah ke AS.
Pergi ke Amerika Serikat bukanlah proses yang mudah. Fajar mengaku mendapatkan bantuan dari beberapa pihak dari segi referensi, visa, dan tiket.
Fajar mengaku banyak menangis selama satu bulan pertama di AS karena dia sudah terbiasa hidup di Jakarta. Dia juga mengaku pernah mengalami rasisme.
“Saya pernah menginap di sebuah AirBnB dan berkali-kali induk semangnya menyebut saya sebagai ‘orang Cina’ padahal saya bukan keturunan Tionghoa,” ujarnya.
Fajar sudah berpikir untuk keluar dari Indonesia jauh sebelum hashtag #KaburAjaDulu menjadi populer di media sosial baru-baru ini. Bahkan, Fajar lebih ekstrem karena dia tidak berencana untuk kembali ke Indonesia.
Sebagai seorang gay atau queer, Fajar mengaku tidak merasa menemukan kebahagiaan di Indonesia karena mereka yang termasuk dalam komunitas LGBT mengalami diskriminasi.
Dari sisi ekonomi, Fajar yang merupakan bagian dari generasi ‘sandwich’ masih menjadi tulang punggung keluarganya, meskipun mereka tidak mengakui dirinya sebagai gay.
“Saya memberikan sekitar Rp 20 juta kepada keluarga saya setiap bulannya. Penghasilan saya di sini setiap bulannya sekitar Rp 40 juta. Terdengar fantastis dalam konteks Rupiah, tapi dalam konteks Dollar Amerika Serikat, itu biasa saja,” kata Fajar yang juga bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran.
Meskipun demikian, Fajar mengaku masih merasa sedih ketika melihat tagar #KaburAjaDulu menjadi viral.
“Itu membuktikan bahwa ini bukan lagi wacana seru-seruan di media sosial, tetapi banyak orang secara serius mempertimbangkan untuk pindah ke luar negeri,” ujarnya.
Di sisi lain, Fajar melihat bahwa banyak orang Indonesia di AS masih “berada di dalam gelembung sendiri”.
“Mereka tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris dan tidak mau belajar. Mereka lebih suka tetap tinggal di komunitas Indonesia. Bahkan hal yang paling sederhana, seperti makan, mereka tidak bisa lepas dari nasi,” kata Fajar.
Aku ini lucu. Sudah jauh-jauh ke sini, tapi enggak ada inisiatif untuk bergabung dengan masyarakat sekitar.
Fajar berharap siapa pun orang Indonesia yang mengikuti hashtag #KaburAjaDulu benar-benar bisa membuka diri dengan dunia dan tidak menjadi katak dalam tempurung.
Gaji guru lebih dihargai di negara lain
Faktor ekonomi juga mendorong Dini Adriani, seorang wanita berusia 28 tahun, untuk pindah ke Chiang Mai, Thailand. Tiga tahun yang lalu, Dini mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 di bidang ilmu pembangunan di salah satu universitas di kota utara Thailand tersebut.
Pada Desember 2024, Dini menyelesaikan pendidikannya dan mendapat kesempatan menjadi guru privat di salah satu sekolah internasional swasta.
Seorang wanita yang bekerja sebagai pekerja sosial mengambil peran sebagai guru bayangan atau shadow teacher bagi murid yang memiliki kebutuhan khusus, yaitu ADHD.
“Di sini gaji saya sebagai guru THB 21.000 atau setara dengan Rp 10 juta dengan nilai tukar saat ini,” kata Dini melalui sambungan telepon pada Selasa (10/02). “Gaji seperti itu mungkin untuk pegawai BUMN di Indonesia,” ujarnya.
Dengan gaji tersebut, Dini bisa mengirim uang sebesar Rp1 juta hingga Rp2 juta ke ayahnya di Bandung, Jawa Barat.
Contohnya, UMR di Bandung saat ini adalah sekitar Rp 4,5 juta rupiah.
“Jika boleh jujur, saya sebenarnya ingin kembali ke Indonesia. Namun jika melihat situasi di Indonesia, saya merasa cukup sulit untuk mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi diri saya dan keluarga, karena saya termasuk generasi sandwich,” ujar diNI.
Saya bekerja di pemerintahan sebelum melanjutkan pendidikan [di Thailand], tetapi saya merasa gajinya tidak mencukupi.
Meskipun begitu, Dini sedih melihat hashtag #KaburAjaDulu yang menurutnya dapat mendorong orang-orang untuk bertindak “impulsif” dan “tidak mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang”.
Dini mengaku khawatir dengan warga negara Indonesia (WNI) yang langsung pindah ke luar negeri tanpa berpikir matang dan malah menjadi pekerja murah.
Dia sangat khawatir bahwa banyak orang masih terjebak dalam perdagangan manusia.
Dia mengacu pada kasus-kasus warga negara Indonesia yang dipaksa bekerja di pusat-pusat penipuan online di wilayah perbatasan Myanmar dan Kamboja.
Seorang Muslim muda tersebut mengaku menghadapi banyak tantangan hidup sebagai minoritas di Thailand.
Mulai dari kesulitan mencari tempat shalat hingga mencari makanan yang halal.
Universitas kemudian mengakui dan memberi ruang bagi orang-orang yang memeluk agama minoritas untuk melaksanakan ibadah.
“Saya lebih suka tinggal di sini daripada di Indonesia,” kata Dini.
Dia juga mengaku latar belakangnya sebagai pekerja sosial yang membuatnya bertemu dengan berbagai macam komunitas di Thailand, termasuk kelompok masyarakat LGBT.
“Balik lagi latar belakang saya itu pekerja sosial. Kami memiliki prinsip bahwa setiap orang memiliki harkat dan martabat yang harus kita hormati dan kita anggap penting,” ujar Dini.
Saya menghargai setiap orang sebagai manusia secara utuh. Selama hal itu tidak terkait dengan agamaku, harga diri saya, atau saya sebagai individu, tidak menjadi masalah bagiku.
Pulang kembali ke Indonesia untuk menetap, tidak pernah terlintas
Mengubah statusnya sebagai warga negara Indonesia menjadi warga negara Korea Selatan adalah tujuan Joseph Pradipta.
“Saya ingin sangat sekali,” kata Joseph kepada wartawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Johanes Hutabarat.
Joseph adalah seorang pria asal Semarang, Jawa Tengah, yang hijrah ke Korea Selatan pada tahun 2019.
Dorongan pindah ke luar negeri pada saat itu adalah kombinasi: antara karir yang stagnan saat bekerja di media olahraga, dan kekhawatiran tentang kondisi politik nasional.
Dia merasa kesusahan karena gaji yang sering habis untuk biaya sehari-hari. Di sisi lain, ia merasa kemampuan videografi yang ia miliki sudah cukup.
Dengan Presiden Joko Widodo yang pada masa periode kedua pemerintahannya memilih mantan lawannya, yaitu Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.
“Jika benar-benar mencontohkan demokrasi yang sehat, demokrasi yang inklusif, sepertinya bukan dengan cara seperti itu,” kata Joseph.
Joseph kemudian mencoba mencari kesempatan untuk belajar di negara lain.
Eropa dan Amerika Serikat pernah terpikirkan sebagai tujuan studi untuk program magister.
Pilihan belajarnya sekarang berubah untuk mencoba mempelajari bahasa di salah satu negara di Asia Timur.
Dia mengatakan pilihannya jatuh ke Korea Selatan karena terkesan dengan kemajuan negara itu.
Dia berangkat ke Korea Selatan pada tahun 2019 untuk belajar bahasa di Busan, sebuah kota pelabuhan yang terletak di bagian selatan Semenanjung Korea.
Baca juga:
Dari sana ia terus memantau isu-isu di Indonesia.
Rasa tidak senang dengan negaranya meluap ketika wabah penyakit menyebar. Ia marah dengan sikap pemerintah Indonesia dalam menghadapi bencana itu.
“Bagaimana Menteri Kesehatan [bilang] menghadapi COVID ‘enggak akan kena orang Indonesia karena suka makan nasi kucing.’ Kan enggak ada hubungannya. Ini benar-benar membuat saya makin marah,” kata Joseph.
,” kata Joseph.
Tapi, hidup di Korea Selatan juga tidak mudah. Ia berusaha menguasai bahasa yang belum pernah ia kuasai. Tapi, ia terdorong untuk terus bisa naik kelas di sekolah bahasanya.
“Aku menangis sendiri sendiri belajar memahami apa tulisan ini,” kata Joseph, yang pernah bekerja di hotel sebagai petugas cleaning service di antara masa-masa pendidikannya.
Ia juga pernah merasakan ada sentimen rasisme yang dialaminya.
“Sekali-kali tidak ada yang mau duduk di sampingku di kereta,” kata Joseph.
Sentimen-sentimen rasial ini mulai menghilang ketika ia bisa mengungkapkan kemampuan berbahasa Korea-nya.
Tapi, tantangan terbesarnya adalah menghadapi masalah sendiri.
“Ke dokter sendiri. Mengurus pajak sendiri. Mengurus visa sendiri. Jadi benar-benar kesendirian ini yang mungkin banyak orang bisa untuk menghadapi,” kata Joseph.
Namun, dia mengaku telah melewati proses adaptasi. Sekarang Joseph telah bekerja di Seoul, sebagai manajer pemasaran sebuah perusahaan fintech.
Dia mengatakan baru saja kembali ke kampung halaman setelah 3,5 tahun tinggal di negara lain.
Sekarang, tidak dipikirkan baginya untuk kembali menetap ke negara asal.
“Pulang untuk tinggal seumur hidup memang tidak pernah terlintaskan dalam pikiran saya,” kata Joseph.
Joseph juga senang dengan hashtag #KaburAjaDulu.
“Saya mendukung. Saya mendukung, teman-teman untuk melarikan diri saja dulu,” katanya
Joseph menatap ke depan. Ia memperkirakan butuh sekitar lima tahun lagi untuk mencapai tingkat visa yang memungkinkan dirinya menjadi warga negara Korsel secara penuh.
“Saya menunggu prosesnya saja,” kata Joseph.
Bagaimana #KaburAjaDulu menjadi viral
Tren percakapan #KaburAjaDulu mulai digaungkan di platform media sosial X sejak Januari 2025, menurut data yang dilacak oleh lembaga pemantau media sosial Drone Emprit.
Pada awalnya, akun @amourXexa memulai mengikuti topik tersebut pada tanggal 8 Januari 2025 dengan menambahkan hashtag yang relevan.
Namun, tagar itu baru viral ketika akun @hrdbacot membagikannya pada 14 Januari dan @berlianidris pada 6 Februari.
Menurut pemantauan Drone Emprit, tagar itu merupakan reaksi warganet terhadap isu-isu terkini, seperti kondisi ekonomi, penurunan kualitas hidup, dan hal-hal yang terkait kebijakan pemerintah.
#KaburAjaDulu digunakan untuk membahas motivasi pindah ke luar negeri, informasi lowongan pekerjaan, serta tips dan trik pindah ke luar negeri.
Dari hasil observasi ini tampak bahwa kelompok usia 19-29 tahun yang menggunakan tagar ini, yaitu mencapai 50,8%.
Tagar ini juga kembali ditemukan oleh Drone Emprit pada September 2023 setidaknya.
Dalam cuitannya, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi menyebutkan bahwa pada saat itu, pihak yang mengikuti tagar tersebut adalah “circle tech bro”, atau kelompok para pemrogram.
Reaksi atas ketidakpastian
Narasi tentang ajakan pergi ke luar negeri dianggap sebagai cerminan kebingungan publik akan kondisi saat ini di tanah air, kata ahli sosiologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito
Dia menyebutkan masalah sosial, politik, dan ekonomi yang muncul belakangan ini membuat masyarakat bingung.
Arie mengemukakan contoh kebijakan pemerintah yang mencabut pembatasan distribusi gas elpiji 3kg yang dilakukan secara mendadak, masalah ketidakpastian hukum, seperti kasus pagar laut, juga masalah pengurangan anggaran pemerintah yang muncul di publik.
,” kata Arie.
Menurut Arie, masalah ini perlu dipandang serius oleh pemerintah.
Arie tidak memandang rendah kelompok kelas menengah yang ingin pergi ke luar negeri, yang menurutnya memiliki lebih banyak pilihan dalam hidup.
Ia menempatkan nasib kelompok kelas bawah.
“Penduduk yang tidak memiliki banyak pilihan, itu yang berisiko memilih kelemahan jika negara ini tidak berubah,” kata Arie.