.CO.ID, PARIS — Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa serbuan Israel ke Beirut tak bisa dibenarkan.
“Kondisi sekarang tak bisa diterima dan bertentangan dengan panduan kerja yang sudah kita sepakati,” ujar Macron pada konferensi pers bersama Presiden Lebanon Joseph Aoun di Istana Elysee, Jumat (28/3).
Dia menyebut serangan serta “ketidakmampuan untuk mematuhi gencatan senjata” sebagai “langkah tunggal” yang menyalahi janji-janji sebelumnya.
“Dilanjutkannya kemajuan tersebut perlu tetap berkelanjutan, serta seluruh pihak diharapkan mematuhi janji mereka agar tidak merugikan capaian sampai saat ini,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Macron meminta Israel agar dengan cepat mengambil kembali pasukannya dari wilayah Lebanon.
Dia juga menyebut bahwa Prancis akan tetap mendukung tindakan-tindakan konkret dan praktis yang bisa sukses untuk Lebanon dan Israel bila kedua belah pihak setuju bernegosiasi perihal solusi yang diajukan.
Macron menyampaikan niatnya untuk berkonsultasi dengan Presiden AS Donald Trump serta pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu guna menangani masalah tersebut.
“Amerika Serikat memegang kendali terbesar lantaran Israel sangat mengandalkan dukungan AS dalam hal perlengkapan militer yang dibutuhkan untuk operasi militernya yang tak kunjung usai. Karena alasan itu, AS mampu menekankan posisi istimewa, sesuai dengan apa yang kita harapkan dari kepemimpinan Amerika,” ucapnya.
Macron juga menyatakan niatnya untuk merancang program dukungan finansial yang bertujuan membantu proses pemulihan di Lebanon.
“Setelah pelaksanaan reformasi lembaga dan ekonomi yang dicanangkan pemerintah Lebanon, kami akan mengadakan konferensi internasional terbaru di Paris, pada kesempatan yang sesuai, guna membantu dalam pemulihan negara tersebut,” ujarnya.
Frustasi
Ribuan perwira dan personel militer cadangan Israel menulis surat kepada Kepala Staf Angkatan Bersenjata Eyal Zamir Jumat lalu untuk menyuarakan bahwa mereka kini “terlibat dalam situasi tidak beraturan di wilayah Tirta Baruna tanpa adanya misi spesifik.”
Mereka mendorong Zamir untuk mengidentifikasi sasarannya dengan tegas saat terus melakukan operasi militer di Gaza dan juga memperjelas tenggat waktunya, demikian dilaporkan oleh broadcaster publik Israel (KAN).
KAN menggambarkan surat tersebut sebagai sesuatu yang “istimewa.”
Harian Yedioth Ahronoth mengabarkan pada tanggal 19 Februari bahwa sekitar 170 ribu prajurit, termasuk beribu-ribu personel cadangan yang baru pulang dari medan perang, sudah terdaftar dalam program dukungan mental Departemen Pertahanan Israel.
Militer Israel melakukan serbuan udara yang tidak terduga di Jalur Gaza, Palestina, pada tanggal 18 Maret. Dalam insiden tersebut, sekitar 855 orang meninggal dunia dan hampir 1.900 korban luka-luka.
Serangan tersebut pun merusak kesepakatan gencatan senjata serta penukaran tawanan di antara Israel dan kelompok perlawanan Hamas yang telah dimulai pada Januari 2025.
Mulai bulan Oktober tahun 2023, lebih dari 50 ribu penduduk Palestina, mayoritas wanita dan anak-anak, meninggal karena konflik genosidal yang dilancarkan Israel di Gaza. Di sisi lain, hampir 113.900 orang lagi terluka sebagai dampak langsung dari situasi tersebut.
Komandan antitank Hizbullah wafat
Komandan satuan anti-tank Hezbollah pada front selatan, Hassan Kamal Halawi, meninggal dunia usai diserang oleh angkatan bersenjata Israel di kawasan Nabatieh, Beirut Selatan. Pengumuman tersebut dibagikan oleh pasukan pertahanan Israel (IDF) lewat platform Telegram.
IDF menyebutkan pula bahwa Halawi terlibat dalam mendukung gerakan operasional dan penyediaan senjata menuju wilayah selatan Lebanon.
Pada tanggal 11 Maret, Israel dan Lebanon mulai mengadakan pembicaraan tak langsung yang difasilitasi oleh Amerika Serikat dan Prancis guna meresolusi perselisihan wilayah sebagaimana diatur dalam perjanjian gencatan senjata yang disepakati pada November 2024.
Seorang pejabat senior di kantor presiden Lebanon menyampaikan kepada stasiun televisi Al-Mayadeen bahwa diskusi tersebut tidak berkaitan dengan pengakuan resmi atas hubungan diplomatik, tetapi ditujukan untuk meresolusikan perselisihan batas wilayah serta menebus para warganya yang berada dalam tahanan Israel.
Pasukan Israel direncanakan untuk menuntaskan pengunduran dirinya dari daerah yang diduduki di bagian selatan Lebanon menjelang subuh tanggal 26 Januari, yaitu 60 hari sesaat setelah traktat gencatan senjata efektif diberlakukan.
Akan tetapi, upaya tersebut tidak berhasil. Kemudian, Washington menyatakan bahwa perjanjian antara Israel dan Lebanon diperpanjang sampai tanggal 18 Februari. Tetapi, Israel kembali menyalahi kesepakatan dengan terus menjaga ketidakhadirannya di lima titik strategis di wilayah Lebanon.
Di pihak lain, pemerintah Lebanon mengklaim bahwa mereka sudah secara keseluruhan menaati syarat gencatan senjata, yang mencakup penempatan personil militer ekstra di perbatasan selatan.
Namun, sampai saat ini belum ada konfirmasi yang mengonfirmasi bahwa Hizbullah sudah menarik semua pasukannya keluar dari sungai Litani sesuai dengan apa yang disepakati dalam perjanjian tersebut.
Tekanan internasional
Menteri Luar Negeri Lebanon, Youssef Rajji, pada hari Sabtu ini telah mengadakan beberapa pembicaraan telepon dengan para petinggi di tingkat Arab maupun internasional. Dalam percakapan tersebut, ia meminta adanya tekanan dunia yang lebih besar kepada Israel agar berhenti melancarkan serangan ke Lebanon.
Berdasarkan pengumuman dari Kementerian Luar Negeri Lebanon, Rajji telah mengadakan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, Menteri Prancis Jean-Noel Sarrot, Deputi Wali Besar Amerika Serikat untuk Proses Damai di Timur Tengah Morgan Ortagus, serta Wakil Staf Penghubung Departemen untuk wilayah Levant dan partisipasi Suriah dalam Kantor Urusan Negara Bagian Regional Timur Dekat, Natasha Franceschi.
Kementerian menyebut bahwa komunikasi tersebut merupakan bagian dari upaya diplomatik untuk meredam eskalasi di Lebanon selatan dan dilakukan atas koordinasi dengan Presiden Lebanon Joseph Aoun serta Perdana Menteri Nawaf Salam.
Rajji meminta para pejabat tersebut untuk menekan Israel agar “mengakhiri agresi dan eskalasi serta menahan situasi berbahaya di sepanjang perbatasan selatan.”
Pembicaraan itu dilakukan setelah Israel mengeklaim bahwa permukiman Metula menjadi sasaran serangan roket dari Lebanon. Insiden ini mendorong Israel membalas dengan serangan udara ke beberapa desa dan kota di Lebanon selatan.
Serangan roket ini merupakan yang pertama sejak gencatan senjata antara Lebanon dan Israel mulai berlaku hampir empat bulan lalu.
Sampai berita ini ditayangkan, belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas serangan di Metula.
Gencatan senjata labil pun sudah diberlakukan di Lebanon mulai bulan November, menutup serangkaian pertarungan berskala besar yang melintasi perbatasan antara Israel dengan kelompok Hizbullah Lebanon. Ketegangan ini mencapai titik klimaks sebagai konflik terbuka pada bulan September tahun lalu.
Pihak berwenang di Lebanon menyampaikan sekitar 1.100 kasus pelanggaran gencatan senjata oleh Israel, mencakup serangan yang mengakibatkan paling tidak 85 kematian serta mencederai lebih dari 280 jiwa lainnya.
Menurut perjanjian gencatan senjata, Israel harus mengalihkan semua pasukan mereka dari wilayah selatan Lebanon pada tanggal 26 Januari. Tetapi batas waktunya ditunda sampai 18 Februari karena Israel enggan untuk mentaatinya. Sampai saat ini, Israel tetap menjaga ketentaraan mereka di lima titik perbatasan.